Surat Rahwana

Sinta, engkau boleh mentertawakan Muhammad. Dengarkan aku, Sinta. Setiap aku merenungi hidupku, Muhammad laksana hadir didekatku. Bagaimana setiap ucapannya adalah nyata, boleh engkau tak percaya. Boleh engkau tau bahwa sebagian perenunganku adalah mengenai ucapan-ucapannya. Aku mencoba menafsirkan dengan pengetahuanku, apakah aku salah? Tentu aku salah dimata orang-orang yang perpegang teguh pada ilmu tafsir. Aku cukup senang ketika menemukan guru yang membiarkanku mengembara dalam tafsirku, asalkan aku tak pernah menentang tafsir dari kalangan ahli ilmu tafsir. Sekalipun tafsirku berkebalikan.

 

Andaikan setiap saat aku diliputi ketakutan, tentu aku tak punya waktu untuk menatapmu. Betapa murahnya Raja Muhammad, ketakutan selalu datang dan pergi. Tetapi dalam cinta dekat dan jauh sama saja. Mungkin Raja Muhammad tertawa melihatku, sejenak aku ketakutan, sejenak aku jungkir balik di ujung istananya. Aku hanya mencoba larut dalam tawanya, aku memaknai bahwa jungkir balikku adalah supaya aku tak keberatan menanggung beban hidupku. Sedangkan rasa takutku adalah panggilan kerinduannya kepadaku. Aku bukan siapa-siapa, tentu saja memberikan beban rindu adalah seperti memberikan dunia dan isinya kepadaku. Tak kuasa aku menerimanya, Sinta.

 

Rajanya Muhammad selalu berbaik kepadaku, tak perlu aku ceritakan satu persatu kepadamu. Karena pasti engkau tak percaya. Aku tak menyuruhmu untuk percaya, karena dalam hal ikatan tak dibutuhkan kepercayaan. Jika kepercayaan dibutuhkan artinya ada saat dimana ketidakpercayaan akan hadir disana. Apakah engkau baru tau ini? Apakah engkau tau maksudku? Leburlah rasa percaya dan tak percayamu, hingga kamu mendapatkan jawaban yang murni.

 

Aku akhiri suratku, matur nuwun engkau membacannya dari S sampai I. Meskipun aku tau, engkau tak membacanya sama sekali. Tetapi aku tetap berterima kasih, sebab engkaulah alasanku untuk membuka nafas hatiku.

 

Rahwana - Alengka.

Bukan siapa-siapa. Hanya pejalan biasa