Surat Untuk Sinta
Sinta, gerimis membasahi genting rindu yang dibaliknya berteduh satu hati menyandar kepada kayu lapuk tua nan kusut. Membakar puing-puing kegelisahan yang semakin membara. Asap mulai membumbung tinggi meninggalkan tungkunya, namun hati masihlah bersandar, jua gelisah tetaplah gelisah.
Sinta, meratapi nasib sama artinya menyesali ukiran pena di atas bebatuan cadas milik anak seorang penggembala. Meratapinya terus menerus juga sama saja seperti menangisi mendung yang kadung terjun bebas menjadi hujan. Menjadi ironi sebab banyak orang beramai-ramai menadahnya sebagai pelepas dahaga. Bahkan setelah mereka tau itu adalah air mata.
Sinta, apakah hati yang kuat adalah hati yang mampu terus menulis dan berbisik kepada jiwa agar tak meletakkan sayapnya sebagai pengorbanan atas hidupnya? Atau hal yang berbalik dari pernyataan tersebut?
Sinta, selain sering cemburu kepadamu, aku juga sering cemburu kepada burung-burung yang terus berkicau dan menari-nari. Apakah aku berpikir bahwa mereka tak punya beban? Atau malah aku yang terlalu takut atas keterjaminan hidupku? Namun, yang menari-nari tak hanya burung. Aku juga tau bahwa ikan juga bisa melakukannya, bahkan bunga narsis pun sama. Ini semakin membingungkan dan menambah daftar cemburuku. Apakah aku berlebihan?
Sinta, engkau pasti sudah tau Karno. Aku sedang bernegoisasi untuk meminjam jubahnya, bagaimana menurutmu? Aku tak akan memakai untuk sekedar mengacungkan senjata. Bukankah hidup tak selucu itu? Aku sedang berpikir jika aku tak memberikan apapun kepada keluarga ini, bukankah aku sama saja seorang pencuri yang memakan curian selama bertahun-tahun? Aku mencoba meminjam jubahnya agar diriku tak terlihat dan yang terlihat adalah badan gagah milik Karno yang ksatria itu, menurutmu?
Sinta, apakah ada kehidupan sebelum kehidupan ini ada? Saat aku menggandeng tanganmu, ini seperti aku pernah melakukan sebelumnya. Tapi di mana? Apakah di suatu tempat saat kita pernah bertegur sapa? Maksudku saat kita sama-sama tau bahwa ini hanyalah soal akting saja?
Sinta, tak terasa aku lama bercerita. Tak perlu membalasnya, aku sengaja menitipkan suratku kepada penjaga istana agar Rama tak pernah tau tentang ini. Namun bukankah penjaga istana itu adalah abdinya Rama? Sebentar-sebentar, aku rasa begitu. Tetapi mengapa seorang yang aku temui tadi begitu meyakinkanku? Apakah ada abdi yang membelot dari Rama? Bukankah Rama adalah kesempurnaan dan aku adalah kehinaan? Jika aku hina, mengapa ada orang yang meninggalkan perintah Rama demi memberikan suratku kepadamu? Apakah soal cinta dapat setragis ini? Atau jika hidup tak memiliki jalan cerita juga akhirnya begitu-begitu saja? Lalu siapa yang mengatur semua?
Gabung dalam percakapan