Cerita

Sinta, malam menggulung tubuhku di balik tembok putih baru dari masa lalu. Suara rintik hujan dan tetesannya mengantarkanku pada setiap tikungan juga kubangan perjalanan hidup ini.


Sinta, suara tukang bakso dan bubur membunyikan ciri khasnya mengisi kesunyian malam. Siang terlihat ramai, begitu senja mulai memperlihatkan wajahnya. Keramaian itu seperti pasar semut yang tiba-tiba menghilang dan bersembunyi dalam sarangnya.


Sinta, begitupun eksistensi-eksistensi yang lain. Di luar berbatasan dengan belantara, mungkin ini akan terhubung dengan Kiskenda atau Alengka atau tempat dimana tubuh Rahwana di apit oleh kunci semesta.


Sinta, sudah lama aku tak bertirakat, seperti jarum ini makin condong ke kiri. Ini berbahaya, aku mendengarkan sebuah tembang yang mengantarkanku pulang. Aku merindukan sesuatu.


Sinta, aku adalah orang yang tak percaya jika manusia hidup bekerja hanya untuk sesuatu yang materialis saja. Aku pikir ini soal nurani di kedalaman jauh dasar kalbu. Apakah engkau setuju?


Sinta, bagaimana jika ternyata besok Tuhan sendiri bertanya tentang caramu mempercayai bahwa Dia memang benar-benar ada? Aku? Aku akan menceritakan perjumpaanku denganmu, dimana yang aku cintai bukanlah apa yang aku lihat saat ini, sejatinya ada hal lain di dalam dirimu yang lebih dari itu.


Sinta, apakah engkau pernah tau bahwa ikan-ikan juga sempat berteduh? Dari apa? Masih banyak misteri yang belum terpecahkan meskipun selangkah lagi dengan kedekatan.


Bukan siapa-siapa. Hanya pejalan biasa