Mie Instan
“Heuhueuheu. Zaman udah grusa-grusu yo, Truk.”
“Grusa-grusu piye? Aku nandur pari aja juga masih ndadak ngopeni sasenan kok. Emang ada gitu petani digital?”
“Looh! Bukan itu, tentu lain lagi. Grusa-grusu misal kamu beli gawai bulan ini, bulan besok itu loh gawaimu kelihatan udah seperti Nokia kupatku. Petani digital? Ada kok.”
“Waah, iyo, yang masih tetap legend emang somay Bandung yo, Gong. Dari dulu juga gitu2 aja, meskipun berinovasi, tapi ya tetap ada karakternya. Ndak kayak somay yang digital itu. Sekarang keluar versi dasarnya, besok keluar pronya, besok lagi pro maaghnya, besok ada versi a, s, c, dll.”
“Naah, itu. Ndene juga tau, kamu. Termasuk juga dalam memutuskan sesuatu, semua jadi instan, kayak mie instan, yang kalau kamu punya uang, kamu bisa beli dan langsung masak, jadi. Ndak kayak kalau kita masak sendiri, minimal ada gambaran sayurnya apa, bumbunya apa, lauknya apa, gitu kan dasar-dasar penelitian, pertimbangan dan analisa. Termasuk juga dalam hal bernegara, ya to?”
“Hhmmm...iya juga sih. Jadi ternyata warung2 padang, pecel lamongan pinggir jalan, tukang mie bakso, dll itu bisa jadi lebih cakap dalam berpikir yo?”
“Beetul, makanya dasar negara dan ideologi kita kan Pancasila, nomor papat ada kata kerakyatan, kebijaksanaan, dan permusyawaratan. Tapi ya ndak tau, ini masih ada apa ndak, atau cuma ada di bangku2 sekolah aja. Atau cuma keluar saat tes wawasan kebangsaan misalnya. Heuheuheu.”
Gabung dalam percakapan