Utari
Sinta, akhir ini aku sering pergi di sekitaran Jalan Utari. Tempat kelam, gelap dan menyiksa. Benar, sungguh sangat menyiksa meskipun aku tak pernah tahu jelas di manakah kegelapan serta siksaan itu berada.
Sepanjang perjalanan aku tengok kanan dan kiri, ku meraba jantungku sendiri, apakah di sini, apakah di sana, berjejer setiap rumah seolah pendosa bersembunyi di baliknya.
Rasa itu lekat, sangat dekat, bahkan tak ada lagi sekat. Sesuatu yang tidak bisa aku tanggalkan begitu saja. Jika itu sebuah benda, tentu saja sudah aku letakkan di sana, Jalan Utari, yang penuh misteri.
Saat aku berkhayal, apakah Widowati pernah berada di sini? Tentu saja tidak, Sinta. Namun, siapa yang berani menjamin jika itu benar-benar tidak? Zaman ini saja penuh dengan jaminan, apalagi tentang harkat dan martabat?
Memandang dinding-dinding berdebu yang seperti tak pernah tersapu, mengingatkan aku tentang artinya sebuah rindu. Iya, aku dengan jelas dapat melihat rindu di sana, bila bukan rindu, barangkali kangen, bila bukan kangen, akan aku namai sendiri, tentu setelah aku tahu dari mana datangnya rindu. Seperti cinta yang kata orang dari mata turun ke hati, soal rindu? Sama halnya bunga di ujung jalan depan rumah tingkat yang paling tinggi. Tak pernah aku mengerti.
Iya, seperti namanya, Sinta. Di Jalan Utari tampak kenangan tentang rindu, seseorang yang ingin bertemu, bertatapan, mengungkapkan sebuah harapan, menceritakan segala kejadian. Sungguh, tak sampai hati aku mengatakannya, rasa emosional ini sampai merajam hatiku yang semakin terpaku, terdiam membeku dalam bisu.
Utari ini memiliki perwatakan yang halus, jatmika-- orang zaman kini mengatakan sopan dan santun, berbakti dan menghantui. Oh, bukan menghantui, tetapi wingit. Salam untuk Utari-utari yang telah lahir kembali, kejar mimpimu, jangan sampai engkau pupuskan segala harapanmu, jangan engkau ikuti jejak moyangmu dalam pilu.
Gambar kredit © pewayanganjawa
Gabung dalam percakapan