Hidup
Hidup.
Hidup itu seperti air hujan yang terjatuh dari langit, jika ada orang yang berkata demikian. Maka itu sah-sah saja. Tergantung di mana ia akan menetes, ada yang menetes langsung di lautan, di sungai, genting, dan di lesung pipimu yang sedang pilu.
Bagi air hujan yang menetes di lautan, ia seperti tak punya cerita panjang. Seperti seseorang lahir ke dunia lalu meninggalkannya lagi dalam ngeri. Akan tetapi, banyak cerita lahir dari tetesan-tetesan air yang jatuh dari puncak gunung tertinggi, Everest misalnya jika itu memungkinkan. Mungkin sebabnya di sana banyak penganut Buddha, sebab air saja memiliki nilai kebajikan.
Melihat tetesan yang jatuh ke dalam sungai, terlihat bagus karena langsung bergabung dengan sebuah komunitas aliran air yang tinggi. Tetapi bagaimana jika hidup dalam sebuah wadah yang sangat sesak? Apakah itu nyaman? Sepanjang hidup hanya akan berdamai dengan kesesakan hidup semata. Seperti ketika manusia berdesakan dalam sebuah acara akbar. Tak bisa di bedakan lagi, mana peluh, keluh, air mata dan tawa.
Tak akan pernah ada cerita sempurna yang paripurna, setidaknya di dunia. Tetesan air yang terjatuh di manapun, akan mengkuliti dan mengikis kulit hingga terlihat nadi. Berlumuran darah. Bahkan, embel-embel air murni saja hasil dari sebuah penyaringan. Bagaimana rasanya mengikuti ujian dengan kuota sepuluh ribu peserta namun hanya di sediakan tempat bagi lima besar saja? Juga, belum berbicara tentang prosesnya. Menyedihkan, sekaligus membuat kita berkaca-kaca dalam luka dan derita.
Gabung dalam percakapan