Kisah

Rama, izinkan aku bercerita saat aku terdiam di suatu jalan hutan Dandaka. Aku yang kala itu berkaca-kaca mengamati riasan wajahku, tetiba seorang perempuan menggendong anak dan tas di punggungnya beserta menenteng tas besar berada di depanku. Aku tak memperdulikannya. Iya. Aku tak perduli. Namun tetiba aku melihat ke arahnya, mataku dan matanya saling menatap. Tetapi untuk apa saling bertatap? Seketika juga aku tarik kedua bola mataku, ku hadapkan kepala kepada cermin benggala milikku. Ku berkaca-kaca kembali, betapa anggunnya titipan wajah ini yang ku miliki. Oh! Bukan, aku tak memilikinya.


Selang beberapa detik kemudian, kepalaku memaksa untuk melihat ke arah seseorang itu lagi. Tak ku sangka ia mengajukan beberapa kata, ku dengarkan dengan seksama, lalu ku jawab penuh. Ia bertanya apakah aku memiliki ajian untuk memanggil Grab atau Maxim. Tentu saja, aku tak punya, yang ku punya hanyalah aplikasi milik Nadiem Makarim salah seorang menteri mendikbudristek era kepemimpinan Jokowi.


Tak lama, ia memintaku untuk memanggilkan GoCar ke tempat yang ia mau. Beberapa kali ku ulangi untuk memastikan tempat tujuannya. Mengapa, Rama? Aku lihat ia pergi dengan penuh luka, sepanjang jalan ia meneteskan air mata lara dan berhenti tepat di depanku. Mungkin, aku satu-satunya orang yang ia temui di jalan itu. Sebabnya aku ingin benar-benar memastikan dan dengan tujuan yang aman ia akan pergi.


Alamat sudah ku pastikan, GoCar segera ku panggil dan perempuan itu sesekali bercerita mengenai sebab ia berjalan di jalan ini. Sambil sesenggukan dan mendung menghias kedua bola matanya, kata demi kata keluar dari bibirnya yang tertutup masker putih serta mulai basah akibat mendung sudah tak sanggup lagi di tahan menjadi rintik-rintik cerita penuh derita.


Dari sakit ke sakit yang ia alami sepanjang hari, dari luka ke luka lainnya datang silih berganti. Kini ia dekap buah hati semata wayangnya dan ia jaga kandungannya. Ya, Rama, meskipun waktu, takdir dan kebaikan belum berpihak kepadanya.


Dari sakit buah hatinya, menjalar menggerogoti jiwanya yang ikut larut dalam kubangan nyeri. Ia bertahan dan berjuang melewati masa sulit itu. Kemudian ia ikut pindah bersama sang suami berada di atap yang sama dengan mertua. Namun, lagi-lagi ngeri ia dapati hingga batas ketika ia tak sanggup untuk menjalaninya. Tibalah di mana ia bertemu denganku di hari ketika kuncup mentari menyingsing.


Menunjukkan luka, menceritakan derita, lalu, bagaimana bisa aku tak melihat wajahku sendiri dari pantulan pualam? Meskipun pantulannya samar, namun rasanya begitu lekat seperti pekat malam menembus tulang sum-sum. Detil ku dengarkan ia yang langsung menuju ke hatiku. Hukum obyektivitas otakku tak lagi mampu menahan rasa emosionalnya. Pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana jika ini terjadi padaku?

Bukan siapa-siapa. Hanya pejalan biasa