Tragis
“Lelah...”
“Merasa cukup lelah.”
“Tragis...”
“Mungkin itu juga tragis, Sinta.”
“Sudah cukup banyak bunga yang aku tinggalkan percuma, datang penuh dengan kegembiraan, keceriaan dan suka cita. Telah aku tanggalkan semua dalam lukisan tangis serta penderitaanku.”
“Oh! Tapi aku sudah berjanji untuk tak menyebutnya penderitaan, takdir, atau semacamnya. Itu adalah aku juga.”
“Baru-baru ini aku tahu juga, dari sekian narsis yang telah mekar, romanya berbau sampai ke Italia. Tempat untuk berfoto bersama menuju pelamina.”
“Mengiris cemburuku dalam remang cahaya bulan, sejenak ia juga tertawa, mentertawakan betapa malang nasibku. Menanggalkan hal-hal yang semerbak dan tetap berdiri angkuh di tepi jurang nun jauh di batas ngeri.”
“Harapan telah layu, mimpi juga telah tinggal pergi, tersisa hanyalah diri yang mencoba berselimut sunyi berteman dengan sepi.”
“Isak tangisku tak lagi mampu ku bendung, itu seperti Kariba yang tetiba runtuh, lalu airnya mengalir kemanapun, termasuk jika itu mengaliri kekosongan hati dan jiwaku.”
“Aku mencoba bersimpuh kepada apapun, kepada Tuhan apapun, jika itu ada.”
“Aku masih takut untuk mengatakan dengan tandas bahwa Tuhan telah mati. Iya, ternyata aku masih punya rasa takut, meskipun ketakutan itu hanya pada rasa takutku sendiri.”
“Rasanya aku pernah mendengar cerita bahwa Musa pernah menentang Tuhan untuk datang kepadanya. Nyatanya ia tak kuasa. Ya, itu Musa.”
“Ku lemparkan pikiranku di atas nisanku, ku debat ia di sana tentang banyak hal, hal-hal yang tak banyak juga.”
“Sinta...”
“Haloo, Sinta. Apakah engkau masih terjaga di sana?”
“Haloo...”
“Iya, halo. Aku masih di sini mendengar ceritamu dalam sayu mataku.”
“Ooh, kalau begitu, terakhir, hanya akan aku titipkan rindu, moga lelap dalam mimpimu hingga terbangun dalam nyatamu. See you...”
Gabung dalam percakapan