Gila
Dulu cara guruku menampar murid-muridnya adalah tidak dengan tangannya atau meminjam tangan orang lain untuk menampar. Tetapi mengajak orang yang di labeli “gila” oleh masyarakat bersamanya. Seperti biasa, ia membuka kelas di awali dengan menyanyikan lagu kebangsaan. Namun, ketika lagu selesai dinyanyikan, orang yang dibawa guruku masih terus menyanyi. Beberapa dari kita merasa aneh. Mengapa? Karena mereka baru sekali mendengar ada lanjutan lagu Indonesia Raya, cukup panjang, mereka lalu menggerutu bahwa ia memang benar-benar gila sampai lagu kebangsaan-pun ditambah-tambah hingga panjang. Dalam riuh, guruku memberi kode supaya kita menghormatinya. Betul, ketika selesai, guruku bertepuk tangan dan kita semua menyertai tepuk tangannya. Guruku memujinya lantas berkata, “siapa yang bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya secara lengkap tunjuk atas?” Tak ada orang yang menggerakkan jarinya. Di sana beliau berkata dengan penuh yakin “sebenarnya yang gila kalian atau orang di samping saya ini yang kalian anggap gila?”
Ternyata, di dunia ini banyak dimensi-dimensi hidup di luar apa yang kita kenali. Tak sampai di situ, beberapa orang yang kini masyhur juga sempat dikatakan gila ketika ia memulai penelitiannya. Betapa kata “gila” sangat mudah dilekatkan kepada siapapun.
Gabung dalam percakapan