Kehilangan



Shinta, bila engkau menganggapku takut kehilangan, itu salah, Shinta. Sejak pertama aku melihat gemerlap dunia ini, sejak itu pula aku telah merasakan kehilangan. Mungkin, jika di hitung-hitung, jauh sebelum aku lahir aku bahkan telah merasakan pedihnya kehilangan.

Hari pertama aku melihat cakrawala yang indah nan permai ini, aku telah kehilangan separuh kehidupanku. Hal yang menjadikan pelajaran dan menempa hidupku hingga kini bahwa aku tak pernah takut kehilangan siapapun. Engkau tahu? Sekalipun itu aku kehilanganmu. Iya, jangankan engkau, aku bahkan tidak takut kehilangan diriku sendiri. Sesuatu yang sering aku ucapkan padamu; pergilah jika ingin pergi; tak apa aku melakukan semuanya, karena aku selalu menempatkan diriku sebagai abdi. Bukankah setiap pujangga mengetahui bahwa kepergian bukanlah akhir? Tetapi awal dari bibit-bibit rindu? Bukankah seorang pujangga juga mengerti, bahwa setiap insan yang hidup ia di takdirkan menjadi pelayan?

Shinta, diri mana lagi yang ia adalah benar-benar miliknya sendiri? Bukankah engkau tak pernah ingat kejadian sebelum engkau lahir di sini? Bukankah semua yang telah engkau miliki akan pergi? Artinya engkau kehilangan, bukan? Apakah semua yang engkau miliki akan engkau bawa dalam ruang hampa kematianmu? Tidak, bukan? Iya, tak perlu ada yang di takutkan untuk kehilangan siapapun, Shinta. 

Telah banyak tulisanku beralaskan pualam dengan tinta emas atau darah ku ukir dalam kehidupanku tentang kehilangan. Ribuan perang yang telah aku jalani, aku tidak pernah takut kehilangan orang-orang terbaikku. Kehilangan mereka adalah awal dari kelahiran satria-satria baru di tengah para prajuritku yang gugur. Tak ada kematian sia-sia selain kematian hati yang tak dapat melihat cahaya kebenaran. Sekalipun kematian lawanku, di ujung bilah pedangku selalu aku katakan padanya “Akan ku sempurnakan hidupmu, Kakang.” ternyata kehilangan juga adalah bagian dari kesempurnaan, Shinta.

Bahkan, selain kehilangan, aku juga tak akan pernah menyesali masa lalu. Sekalipun itu suram, berlumuran darah dan penuh kepedihan. Aku tak akan pernah menyesali takdir hidupku, apa yang telah tertulis sebagai bagian dari perjalananku.

Sumber gambar: rawoeh.blogspot.com
Bukan siapa-siapa. Hanya pejalan biasa