Ora Jelas



Yaa, sah-sah saja mau berbahasa pakai bahasa apa, ya Truk, Reng. Toh, bahasa adalah salah satu contoh produk kesepakatan. Misalnya tulisan "Is one my do" di baca isone maido seperti di pantat-pantat truk itu ya nggak papa.

Sama benarnya, tergantung wawasan siapa yang melihatnya.

Cuma, kadang aku heran. Akhir ini banyak tulisan western di berbagai tempat. Di sini kan Indonesia, Jawa. Kenapa kok tidak di tulis misalnya "Tuku 2 oleh telu", "alon-alon, sisih kiri", "Beli satu dapat 2", dst. Kalau di tempat lain, misalnya Sunda, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumatera, Nusa Tenggara, Bali, Aceh, Papua, dst. Pakai bahasa daerah masing-masing ya ndak papa. Bukan western. Ngono lho, maksudku. 

Pembelinya anak-anak, orang tua, dst. Lha nek pembelinya "orang yang melek bahasa western" kan ndak papa. Lha ini untuk umum, kok ndadak ora jelas blas. Umpama arep western mbok sekali-sekali pakai bahasa londo sekalian. Apa udah trauma? Misale pakai bahasa daerah kan ya ikut melestarikan, ben ndak punah. Paling tidak begitu maksudku. 
Bukan siapa-siapa. Hanya pejalan biasa