Sukoharjo



Kamis kemarin aku ke pasar, Shinta. Dari sekian orang yang aku jumpai dan sedikit ngobrol ngalor-ngidul, di tempat seorang yang satu ini aku ngobrol cukup lama. Aku perhatikan gaya dan nada bicaranya bukan asli orang Semarang, iya, ini seperti orang kidul, tapi sebelah mana aku kurang paham. Sampai detik ini misalnya aku ngobrol dengan bahasa jawa berlawan orang-orang sekitar Jogja atau Solo, aku selalu minder. Heuheuheu. Rasanya bila ilmu itu bertingkat, maka keilmuan bahasaku jauh di bawah mereka-mereka.

Ya, pada akhirnya aku benar-benar bertanya untuk memastikan. Dugaanku benar, beliau bukan asli orang Semarang, meski hidup di sini sudah lebih dari tiga puluh tahun. Namun, gaya yang khas akan daerahnya tidak luntur sama sekali. Beliau ini ternyata orang Sukoharjo. Menurutku sejak kecil hingga aku ketik tulisan ini, bahwa orang-orang yang lahir, dibesarkan, apalagi dari pribumi Jogja dan Solo selalu memiliki cara dan gaya yang khas dalam berbicara. 


Hhmm.

Apalagi sekelas orang tua seperti ini, agaknya aku terlalu bodoh untuk memahami beberapa kosa kata yang di gunakan. Terlebih, kadang ibu ini menggunakan perumpamaan yang berbentuk sastra. Misalnya: pinaringan bagas, waras-wiris, tebih ajrih, kalis ing rubeda nir ing sambikala. Sesuatu yang bahkan jarang-jarang sekali aku dengar sekalipun lawan bicaraku orang-orang yang sudah sepuh.


Apakah hanya perasaanku saja ketika mendengar seseorang berbahasa jawa khas Jogja atau Solo itu rasanya damai dan tentram?

Bukan siapa-siapa. Hanya pejalan biasa