Pelajaran: Mal-Mol Mambyar
Kita main-main, jalan-jalan, makan-makan, nonton-nonton, dst. Gong.
Lho ngapain? Ya, anggap saja survei tempat perbelanjaan. Banyak orang mendefinisikan tahun ini adalah tahun menyakitkan, terutama kelas menengah ke bawah. Tapi kalau misal Semar jadi pegawai negara ya ndak juga mungkin ya, malahan denger-denger plus-plus.
Tiba saatnya isi perut demo, konon akibat pemerintah lalai menyalurkan sembako dan bantuan-bantuan lain tepat sasaran. Heuheuheu.
Oh, bukan. Ini beneran perut, kebetulan tidak jauh dari tempat kita hahahihi terdapat sebuah salindia dan kita sedang berjalan ke arah tepat ia melambaikan tangan, iya, misalkan ia manusia.
Terdapat menu yang menarik tubuh kita untuk segera duduk di kursi-kursi kayu dengan corak cokelat. Rasanya aneh, sebab biasanya yang dapat menarik dan di tarik adalah magnet dengan besi misalnya, iya, itu selain cinta.
Dengan tujuh puluh ribu, kita dapat makan untuk tiga orang. Mahal, iya juga, biasanya dengan menu seperti itu, kita-kita cuma habis dua belas ribu saja. Tapi tak apa, di sini, dengan tempat yang nyaman, udara sejuk, pemandangan sebenarnya biasa saja dan yaaa sebuah stereotipe tentang pandanga...konsumtif.
Datang orang asing.
Betul, ini benar orang asing — maksudku bukan hanya orang yang tidak aku kenal. Tapi orang luar negeri, Truk. Waah, Mbak-Mbak pelayan bergegas mengambilkan brosur menu yang tersedia, sesekali aku lihat dan dengar sayup-sayup menjelaskan dengan sedikit gestur tangan.
Sat-set.
Kita nikmati makan dengan menu tahu, tempe, lalapan, dua sambal dan daging sapi kelihatannya—tipis-tipis sekitar lima lembar.
Saat bayar, sesuai kesepakatan, aku serahkan kepada seorang teman. Dengan habitusnya, ia langsung datang ke kasir menunggu sesaat karena sedang melayani satu orang yang juga sama ingin menyampaikan kewajibannya.
Sebenarnya, tepat di belakang seorang yang sedang transaksi. Terdapat bule atau orang asing yang juga sedang antre. Namun, teman ini langsung ambil posisi tepat di belakang orang yang sedang melakukan transaksi. Benar saja, sang bule tiba-tiba menyentil temanku ini. Heuheuheu.
Ku perhatikan baik-baik, saat menyerahkan uang, bule ini membuka uangnya lebar-lebar sehingga jelas nominal uang dan memberikan dengan kedua tangannya. Bule yang menurutku sudah cukup tua dan menjalani hidupnya dengan bijaksana.
Gabung dalam percakapan