Truk: Bokong
Sebuah perenungan yang ternyata selalu datang ketika aku terpuruk. Memang, Shinta, aku belajar bertahun-tahun untuk tidak memperlihatkan rasa sedihku, susahku, air mataku dan kegembiraanku, senangku, serta bahagiaku kepada orang lain. Aku belajar biasa saja, tak membagikan aku sedang di mana, dengan siapa, mengapa. Meskipun orang itu adalah kamu.
Aku pernah bercerita kepadamu; beginilah aku yang hidupnya amburadul dan berantakan. Orang boleh menilai aku dari yang gak enak sampai anggap kalau aku terlalu enak. Ndak papa, Shinta. Setiap penilaian itu subjektif dan sebagai pengingat dalam kehidupan kita, sama ketika aku menulis tentang cangkeman. Jika engkau lupa, bisa baca lagi di sana.
Aku yang amburadul dan berantakan itu masih percaya akan Tuhan. Sebuah eksistensi yang tidak dapat di sentuh oleh manusia. Jika begitu, artinya ketika aku mendapati sebuah masalah hidup dan aku tak bisa menyelesaikan, aku berkata kepadamu; maka akan aku serahkan semua masalahku kepada yang buat hidup. Bukankah begitu, Shinta?
Meski kadang aku juga curiga. Anggapan tentang curiga ini juga pernah aku tulis, bila kamu lupa, silakan bisa di baca lagi, Shinta.
Akhirnya, tiba dalam pokok inti perenunganku. Iya, dalam kondisi terpuruk ini, aku melihat tulisan-tulisan di bokong truk berbunyi: inna ma'al usri yusra. Bahkan suatu ketika dalam kondisi yang pelik ketika itu seorang tetangga menggelar hajatan dan engkau tau, Shinta? Salah satu ayat yang di baca adalah (Ø¥ِÙ†َّ Ù…َعَ الْعُسْرِ ÙŠُسْرًا) ayat tersebut. Seketika aku merinding. Apakah ini kebetulan? Ndilalah? Andaikata engkau lupa lagi bahwa aku pernah menulis tentang aku yang tidak pernah percaya kebetulan, engkau bisa membacanya lagi, Shinta.
Sore ini, dalam kondisi yang carut-marut. Aku melihat tulisan itu lagi di bokong truk. Yakin, seyakin-yakinnya bahwa yang aku lihat adalah truk yang berbeda-beda. Jadi, bagaimana, Shinta?
Gabung dalam percakapan